Kami merayakan kemerdekaan dengan kembang api cicilan. Benderanya merah-putih, tapi kuitansinya biru-tua. Di spanduk jalanan, kata “MERDEKA” dicetak tebal, disusul tanda bintang kecil: syarat dan ketentuan berlaku. Kecilnya tak kasat mata, bunyinya panjang: “Selama kamu tidak berisik, tidak telat bayar, tidak mengganggu, tidak bertanya kenapa.”

Pagi hari, kami hormat pada tiang—bukan tiang bendera, tapi tiang listrik yang tak pernah benar-benar libur. Di sekolah anak-anak baris rapih; di kantor pelayanan, orang dewasa baris lebih rapih lagi. Upacara kebangsaan dipimpin oleh loket: berdiri tegap, angkat map, maju tak gentar menghadapi stempel babak belur. Petugas tersenyum, komputer berputar, sistem berkata: “Silakan kembali merdeka minggu depan.”

Di jalan raya, kami berpapasan dengan iklan kebebasan bersuara—sepanjang sesuai pedoman komunitas. Di trotoar, pedagang kecil diimbau “tertib”, sementara baliho raksasa bebas menutup matahari. Kami punya hak berkumpul, asal berkumpulnya di kolom komentar; itu pun kalau paket data masih setia. Ketika sinyal mendadak tiarap, kami diajak menikmati keheningan: inilah bentuk paling hening dari demokrasi, kata notifikasi yang tak jadi masuk.

Di kantor, rapat dimulai dengan pantun motivasi: “Merdeka merdeka katanya—tolong siapkan laporan 27 halaman sebelum makan siang ya.” Di akhir bulan, kebebasan ditagih bersama PPN, iuran platform, dan biaya administrasi yang lahir tanpa bidan. Kami bebas berpendapat, sepanjang pendapatnya bisa dipresentasi, diberi nomor, dan dikirim paling lambat jam lima lewat nol satu.

Di ruang keluarga, televisi mengabarkan bahwa kami terlampau sensitif jika menuntut transparansi. Kata ahli, kemerdekaan itu seperti aplikasi versi beta: harap maklum bila ada bug, jangan lupa kasih bintang lima. Di ruang tamu, tamu-tamu datang membawa tanda jasa: foto bersama, janji bersama, lupa bersama. Di dapur, ibu menanak nasi dengan kompor hemat; panci bersiul seperti seruling kemenangan yang terburu-buru.

Malam hari, kami mengibarkan mimpi: gaji cukup, layanan cepat, hukum tegak tanpa tanya nama. Tetangga menyahut, “Merdeka itu sederhana: pulang selamat, tidur nyenyak, aman bercanda.” Di timeline, debat nyala padam; semua ahli, semua sakti, semua ingin menyelamatkan negeri mulai dari caption. Sementara itu, jalan kampung masih belajar membedakan lubang dan sejarah: sama-sama panjang, sama-sama sering dihindari.

Besoknya, perayaan lanjut. Ada lomba panjat pinang berhadiah… fotobooth. Hadiah utamanya: kesempatan baru memanjat. Kami tertawa, masinis kereta ekonomi ikut tertawa, bahkan jam dinding tertawa—walau jarumnya tetap menusuk. Pemandu acara menutup dengan petuah nasionalis: “Tetap semangat! Kalau lelah, ganti slogan. Kalau macet, ganti rute. Kalau buntu, ganti topik.”

Pada akhirnya, kami sepakat bahwa kemerdekaan ini belum sepenuhnya sampai rumah. Mungkin tersesat di bundaran, mungkin menunggu di lampu merah yang tak kunjung hijau. Tapi kami juga tahu: kemerdekaan bukan paket yang diantar kurir; ia dibentuk oleh kebiasaan kecil—bertanya sopan tapi tegas, menyimak data, menolak maklum pada yang tak wajar, saling jaga tanpa hitung-hitungan.

Jadi, bila ada yang bertanya: “Apakah kita sudah merdeka?”
Jawab saja dengan senyum paling jujur: “Sudah—untuk upacara. Belum—untuk sehari-hari.” Lalu kita jalan pelan, menurunkan semua bintang kecil di belakang kata “MERDEKA”, satu per satu. Siapa tahu, ketika syarat & ketentuan itu gugur, kita benar-benar bebas: bukan sebagai slogan, bukan sebagai jeda iklan, melainkan sebagai kebiasaan yang tak perlu lagi ditebalkan.

Categorized in:

Inspirasi,