Ringkasan Eksekutif

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai potensi dan kendala implementasi pemungutan suara elektronik (e-voting) skala nasional di Indonesia. Meskipun e-voting secara teoretis menawarkan berbagai keuntungan seperti efisiensi, kecepatan, dan akurasi, analisis menunjukkan bahwa penerapannya di Indonesia menghadapi serangkaian hambatan sistemis dan mendalam yang mencakup domain teknis, sosio-kultural, hukum, dan politik. Defisit kepercayaan publik, yang diperparah oleh kesenjangan infrastruktur digital dan kegagalan teknologi pemilu terkini seperti Sistem Informasi Rekapitulasi (SIREKAP) pada Pemilu 2024, menjadi rintangan paling kritis.

Studi kasus internasional memberikan perspektif penting. Estonia diposisikan sebagai model keberhasilan yang dicapai melalui pembangunan negara digital secara holistik dan jangka panjang, bukan sekadar adopsi teknologi. Sebaliknya, pengalaman Belanda dan Jerman berfungsi sebagai peringatan keras. Kasus Belanda menyoroti kegagalan institusional dan ketergantungan berlebihan pada vendor, sementara putusan Mahkamah Konstitusi Jerman menegaskan imperatif konstitusional atas keterverifikasian proses pemilu oleh publik (public verifiability).

Berdasarkan temuan ini, laporan ini sangat tidak merekomendasikan implementasi e-voting nasional secara tergesa-gesa dan menyeluruh. Sebaliknya, direkomendasikan sebuah strategi jangka panjang yang berfokus pada pemenuhan prasyarat fundamental: reformasi kerangka hukum yang komprehensif, pembangunan sistem identitas digital nasional yang aman dan terpercaya, serta penerapan pendekatan hibrida bertahap yang mengintegrasikan Voter-Verified Paper Audit Trail (VVPAT) sebagai mekanisme pengamanan yang tidak dapat ditawar.

Bagian 1: Lanskap Global dan Modalitas Pemungutan Suara Elektronik

Bagian ini bertujuan untuk membangun landasan konseptual dan empiris laporan. Dengan mendefinisikan terminologi kunci, membedakan berbagai jenis teknologi e-voting, dan menyajikan data tren adopsi global, bagian ini akan membingkai analisis spesifik mengenai situasi di Indonesia dalam konteks yang lebih luas.

1.1 Mendefinisikan E-Voting: Tipologi Sistem

Istilah “e-voting” sering kali digunakan secara monolitik, padahal ia mencakup serangkaian teknologi dengan karakteristik, keunggulan, dan risiko yang sangat berbeda.1 Pemahaman yang jernih atas tipologi ini esensial untuk perdebatan kebijakan yang bermakna.

  • Sistem Direct-Recording Electronic (DRE): Ini adalah mesin pemungutan suara, sering kali menggunakan layar sentuh atau tombol, yang merekam suara pemilih secara langsung ke dalam memori elektronik.2 Keunggulannya termasuk kemampuan untuk mencegah suara ganda (overvotes), menyediakan antarmuka multibahasa, dan meningkatkan aksesibilitas bagi pemilih disabilitas.2 Namun, kritik utama terhadap sistem DRE murni adalah potensinya menjadi “kotak hitam” (black box) yang rentan terhadap peretasan dan manipulasi perangkat lunak, serta tidak memiliki jejak audit fisik yang dapat diverifikasi secara independen.3
  • Sistem Pemindaian Optik (Optical Scan): Dalam sistem ini, pemilih menandai pilihan mereka pada surat suara kertas, yang kemudian dimasukkan ke dalam mesin pemindai untuk ditabulasi secara elektronik.2 Keunggulan fundamental dari model ini adalah ia secara inheren menghasilkan jejak kertas fisik, yang krusial untuk keperluan audit dan penghitungan ulang manual.5
  • Pemungutan Suara via Internet (i-Voting): Didefinisikan sebagai metode pemungutan suara jarak jauh melalui internet dari lokasi mana pun.2 Sistem ini menawarkan kenyamanan maksimal, terutama bagi warga negara di luar negeri atau pemilih dengan mobilitas terbatas.2 Namun,i-voting juga menghadirkan tantangan keamanan siber, kerahasiaan suara, dan verifikasi identitas pemilih yang paling signifikan.
  • Sistem Hibrida dan Perangkat Penanda Surat Suara (Ballot Marking Devices– BMD): Sistem ini mengombinasikan antarmuka elektronik dengan keluaran kertas. BMD, misalnya, memungkinkan pemilih membuat pilihan di layar, yang kemudian mencetak surat suara kertas untuk diverifikasi oleh pemilih sebelum dimasukkan ke dalam pemindai atau kotak suara.2 Dalam konteks ini, konsepVoter-Verified Paper Audit Trail* (VVPAT) diperkenalkan sebagai fitur keamanan kritis. VVPAT adalah cetakan kertas independen yang memungkinkan pemilih memverifikasi bahwa pilihan mereka telah direkam dengan benar oleh mesin DRE sebelum suara tersebut disimpan secara elektronik.4
    Perbedaan antara modalitas e-voting ini bukan sekadar teknis, melainkan juga filosofis. Sistem yang memiliki jejak kertas inheren (seperti Optical Scan dan DRE dengan VVPAT) memprioritaskan prinsip keterverifikasian (verifiability), yang memungkinkan manusia untuk memeriksa dan mengaudit hasil yang diproses oleh mesin. Sebaliknya, sistem yang sepenuhnya digital (seperti DRE murni dan i-Voting) cenderung memprioritaskan kenyamanan dan efisiensi, yang menuntut tingkat kepercayaan yang jauh lebih tinggi pada keamanan dan keandalan perangkat lunak. Pilihan di antara prioritas-prioritas yang saling bersaing ini merupakan inti dari perdebatan kebijakan e-voting.

Tabel 1: Analisis Perbandingan Sistem Pemungutan Suara

1.2 Tren Adopsi Global: Gambaran yang Campuran dan Hati-hati

Analisis data global dari International IDEA menunjukkan bahwa adopsi e-voting jauh dari kata universal dan cenderung diwarnai oleh kehati-hatian.8 Narasi bahwa e-voting adalah masa depan pemilu yang tak terelakkan tidak didukung oleh bukti empiris.

Faktanya, lanskap global mengungkapkan tren keengganan mengambil risiko (risk aversion), bukan adopsi antusias yang meluas. Data menunjukkan bahwa jumlah negara yang masih dalam tahap uji coba (15%) atau bahkan telah meninggalkan e-voting (6%) secara kolektif (21%) melebihi jumlah negara yang telah mengadopsinya secara penuh (19%).8 Angka ini secara kuantitatif menantang asumsi bahwa e-voting adalah sebuah keniscayaan.

Alasan utama yang dikutip untuk meninggalkan e-voting adalah “kekhawatiran tentang kepercayaan dan keamanan”.8 Hal ini mengimplikasikan bahwa tantangan yang dihadapi bukanlah sekadar rintangan teknis yang dapat diatasi, melainkan sering kali merupakan isu fundamental yang berkaitan dengan prinsip demokrasi dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, setiap diskusi tentang e-voting di Indonesia harus dimulai bukan dari posisi “bagaimana cara menerapkannya,” melainkan dari pertanyaan yang lebih mendasar: “apakah ia harus diterapkan,” mengingat preseden internasional yang jelas mengenai kegagalan dan pembalikan kebijakan.

Bagian 2: Konteks Indonesia: Uji Coba dan Potensi E-Voting

Bagian ini mengalihkan fokus ke Indonesia, mengkaji argumen domestik yang mendukung e-voting, sejarah penerapannya yang terbatas, serta putusan hukum krusial yang membuka pintu bagi pertimbangannya.

2.1 Dorongan untuk Modernisasi: Persepsi Manfaat E-Voting di Indonesia

Wacana penerapan e-voting di Indonesia didorong oleh serangkaian argumen yang berpusat pada modernisasi dan penyelesaian masalah-masalah kronis dalam sistem pemilu konvensional.

  • Efisiensi dan Kecepatan: E-voting dipandang sebagai solusi untuk mempersingkat proses penghitungan dan rekapitulasi suara manual yang panjang dan melelahkan.10 Tragedi Pemilu 2019, di mana ratusan petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan, sering dikutip sebagai justifikasi kuat untuk otomatisasi.12
  • Pengurangan Biaya: Para pendukung berpendapat bahwa dalam jangka panjang, e-voting dapat mengurangi biaya besar yang terkait dengan pencetakan dan distribusi jutaan surat suara, logistik pemilu, dan perekrutan staf ad-hoc.10
  • Akurasi dan Pengurangan Kecurangan: Teknologi ini dianggap dapat meminimalkan kesalahan manusia dalam penghitungan suara dan mengurangi peluang kecurangan di tingkat TPS.10
  • Peningkatan Partisipasi: E-voting berpotensi meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di kalangan warga negara di luar negeri, masyarakat di daerah terpencil, dan penyandang disabilitas yang menghadapi kesulitan untuk datang ke TPS.2

2.2 Implementasi Terbatas: Pengalaman E-Voting dalam Pilkades

Pengalaman nyata Indonesia dengan e-voting sejauh ini terbatas pada pemilihan di tingkat sub-nasional, khususnya Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang kini terintegrasi ke dalam BRIN, telah mengembangkan dan mengimplementasikan sistem e-voting untuk Pilkades.16

Implementasi yang berhasil telah tercatat di berbagai kabupaten, seperti Jembrana di Bali 19 dan Tabalong di Kalimantan Selatan.20 Laporan menunjukkan tingkat implementasi yang tinggi dan penerimaan publik yang positif di tingkat lokal.16 Antara tahun 2013 hingga 2017 saja, sistem BPPT telah digunakan di 683 Pilkades di 12 kabupaten.16

2.3 Lampu Hijau Konstitusional: Putusan MK No. 147/PUU-VII/2009

Landasan hukum utama yang memungkinkan pertimbangan e-voting di Indonesia berasal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2009. Putusan ini menyatakan bahwa e-voting secara konstitusional diizinkan selama tidak melanggar asas-asas inti pemilu Indonesia: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber Jurdil).10

Secara spesifik, MK menafsirkan ulang kata “mencoblos” dalam undang-undang pemilu agar dapat mencakup metode elektronik.12 Namun, yang terpenting, MK melampirkan serangkaian syarat ketat pada persetujuannya. Implementasi e-voting hanya dapat dilakukan jika ada kesiapan dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, dan kesiapan masyarakat itu sendiri.12

Meskipun sering dikutip sebagai justifikasi hukum, putusan MK ini lebih berfungsi sebagai “rem konstitusional” daripada “lampu hijau”. Prasyarat yang ketat dan bersifat subjektif (kesiapan teknologi, finansial, SDM, dan masyarakat) menempatkan beban pembuktian yang sangat besar pada negara. Putusan ini secara efektif menuntut adanya konsensus nasional yang luas—sebuah kondisi yang saat ini belum ada. Ini berarti setiap gugatan hukum terhadap implementasi e-voting di masa depan tidak perlu membuktikan bahwa e-voting secara inheren inkonstitusional, melainkan cukup membuktikan bahwa negara telah gagal memenuhi prasyarat kesiapan yang ditetapkan oleh MK sendiri, sebuah standar pembuktian yang jauh lebih mudah dicapai oleh para penentang.

Lebih jauh lagi, terdapat “kekeliruan skala” (fallacy of scale) yang signifikan dalam mengekstrapolasi keberhasilan e-voting Pilkades ke tingkat nasional. Kedua konteks tersebut secara fundamental berbeda dalam hal kompleksitas, pertaruhan politik, dan model ancaman. Pilkades melibatkan satu pemilihan tunggal, basis pemilih yang kecil dan terlokalisasi, serta pertaruhan politik yang relatif rendah. Sebaliknya, pemilihan umum nasional di Indonesia adalah salah satu operasi logistik paling kompleks di dunia, melibatkan lima pemilihan serentak, lebih dari 200 juta pemilih, dan lebih dari 800.000 TPS yang tersebar di seluruh nusantara.24 Pertaruhan politiknya jauh lebih tinggi, sehingga menarik aktor-aktor jahat yang lebih canggih dan memiliki sumber daya yang lebih besar (baik domestik maupun asing) yang tidak akan tertarik pada pemilihan desa tetapi sangat berkepentingan dengan pemilihan presiden. Dengan demikian, tantangan keamanan, logistik, dan politik tidak berskala linear; melainkan eksponensial. Keberhasilan di Pilkades menunjukkan kelayakan teknis dalam lingkungan yang terkendali, tetapi hampir tidak memberikan wawasan tentang ketahanan sistem dalam menghadapi kompleksitas dan tekanan adversarial dari pemilu nasional.

Bagian 3: Analisis Kuadripartit Kendala E-Voting Nasional di Indonesia

Ini adalah bagian analisis inti dari laporan ini, yang secara sistematis membedah empat domain utama tantangan yang menghalangi implementasi e-voting nasional, dengan menggunakan bukti ekstensif dari berbagai sumber.

3.1 Defisit Teknis dan Infrastruktur

  • Kesenjangan Digital: Meskipun penetrasi internet secara nasional telah mencapai 77% 25, angka ini menutupi disparitas yang parah antara pusat-pusat kota dan daerah-daerah terpencil atau pedesaan. Di banyak wilayah, akses internet masih terbatas, tidak stabil, atau bahkan tidak ada sama sekali.11 Kesenjangan infrastruktur ini membuat sistemi-Voting universal menjadi tidak adil dan tidak layak untuk diimplementasikan.
  • Kerentanan Keamanan Siber: Sistem pemilu digital adalah target utama serangan siber, termasuk penyebaran malware, pencurian data, dan manipulasi suara oleh aktor-aktor canggih.11 Ada kekhawatiran besar mengenai kemampuan negara untuk menahan serangan semacam itu, yang diperparah oleh kurangnya kepercayaan publik terhadap keamanan sistem.11 Teknologi baru sepertiblockchain sedang dieksplorasi untuk meningkatkan keamanan, tetapi ini membutuhkan kesiapan teknis yang sangat matang.26
  • Studi Kasus: Kegagalan SIREKAP (Pemilu 2024): Pengalaman terkini dengan Sistem Informasi Rekapitulasi (SIREKAP) pada Pemilu 2024 menjadi studi kasus yang sangat relevan dan kritis. SIREKAP, yang merupakan alat bantu untuk rekapitulasi hasil—bukan untuk pemungutan suara—dilanda berbagai masalah teknis, termasuk kesalahan konversi data dari formulir C1, kesulitan akses oleh petugas KPPS, dan fungsionalitas yang tidak stabil.28 Masalah ini menyebabkan kebingungan publik yang luas, memicu tuduhan manipulasi, dan secara signifikan mengikis kepercayaan publik terhadap kompetensi teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU).28 Keputusan KPU untuk menghentikan sementara penayangan diagram hasil perolehan suara di situsnya dipandang sebagai pukulan telak terhadap transparansi.28 Kegagalan SIREKAP ini berfungsi sebagai “uji coba publik beta” yang katastrofik untuk e-voting. Peristiwa ini secara efektif menunjukkan bahwa KPU saat ini belum memiliki kapasitas kelembagaan, ketahanan teknis, dan strategi komunikasi publik yang memadai untuk mengelola sistem digital pemilu yang bahkan lebih sederhana. Jika KPU tidak dapat mengelola sistem untuk sekadarmenampilkan hasil dengan andal, maka publik tidak akan memiliki kepercayaan pada kemampuannya untuk mengelola sistem yang merekam dan menghitung suara itu sendiri. Peristiwa ini kemungkinan besar telah memundurkan wacana e-voting di Indonesia setidaknya satu dekade.

3.2 Hambatan Sosio-Kultural dan Kepercayaan

  • Literasi Digital yang Rendah: Di luar masalah akses, kemampuan untuk menggunakan teknologi digital secara efektif dan kritis di kalangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, bahkan salah satu yang terendah di ASEAN.29 Tingkat literasi ini sangat bervariasi berdasarkan wilayah dan demografi, dengan populasi pedesaan dan lansia menghadapi tantangan khusus.25 Sistem e-voting yang kompleks berisiko mendisfranchise kelompok-kelompok rentan ini.30
  • Primas Kepercayaan Publik: Ini adalah hambatan non-teknis yang paling fundamental. Terdapat skeptisisme publik yang mendalam dan kurangnya kepercayaan terhadap teknologi maupun institusi yang mengelolanya.11 Kepercayaan pada pemerintah dan penyelenggara pemilu adalah faktor kunci yang memengaruhi penerimaan publik terhadap e-voting.14
  • Data Opini Publik: Sebuah survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada tahun 2020 memberikan bukti nyata skeptisisme ini. Sebanyak 57,2% responden masih memilih untuk memberikan suara secara langsung di TPS, dibandingkan dengan hanya 33,1% yang mendukung e-voting.17 Data ini menunjukkan bahwa mayoritas publik belum siap untuk menerima perubahan ini. Membangun kepercayaan memerlukan kampanye edukasi, simulasi, dan sosialisasi publik yang ekstensif dan berkelanjutan.17

3.3 Vakum Hukum dan Regulasi

  • Insufisiensi Undang-Undang Pemilu Nasional: Undang-undang utama yang mengatur pemilu nasional, yaitu UU No. 7 Tahun 2017, sama sekali tidak mengatur atau memberikan landasan hukum untuk penggunaan e-voting dalam pemilihan presiden dan legislatif.11 Ini adalah sebuah kekosongan hukum (legal vacuum) yang fundamental.
  • Kontradiksi dengan Undang-Undang Pilkada: Sebaliknya, UU No. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara eksplisit mengizinkan e-voting dalam Pasal 85.11 Namun, ketentuan ini belum pernah diimplementasikan oleh KPU, dengan alasan berbagai kekhawatiran.11 Hal ini menciptakan inkonsistensi hukum dan menyoroti keengganan institusional.
  • Ketiadaan Peraturan Pelaksana: Bahkan jika UU Pemilu diamendemen, saat ini tidak ada peraturan teknis turunan dari KPU (Peraturan KPU atau PKPU) yang akan mengatur standar, keamanan, sertifikasi, dan prosedur untuk sistem e-voting.17 Kesenjangan regulasi ini membuat implementasi apa pun menjadi mustahil secara hukum.

3.4 Tantangan Politik dan Tata Kelola

  • Kurangnya Kemauan Politik dan Konsensus: Kekosongan hukum adalah gejala dari masalah yang lebih dalam: tidak adanya kemauan politik yang berkelanjutan dan konsensus yang luas di antara elite politik untuk melakukan reformasi yang berisiko tinggi dan transformatif ini.21
  • Resistensi dari Kepentingan yang Mapan: Pengenalan sistem e-voting yang transparan dan terpusat dapat dianggap sebagai ancaman oleh aktor-aktor politik yang mungkin mendapat keuntungan dari sifat buram dan terdesentralisasi dari sistem manual saat ini.30
  • Sentralisasi Risiko: E-voting mengurangi risiko kecurangan skala kecil yang terdesentralisasi di TPS, tetapi secara masif memusatkan risiko manipulasi sistemik skala besar oleh segelintir orang dalam atau peretas eksternal.14 Dalam iklim politik dengan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap lembaga-lembaga pusat, sentralisasi risiko ini menjadi sumber kecurigaan politik yang sangat besar.
    Keempat kategori hambatan ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkunci dalam sebuah lingkaran umpan balik negatif. Kurangnya kemauan politik (politik) menghambat penciptaan kerangka hukum (hukum), yang pada gilirannya mencegah investasi yang diperlukan dalam infrastruktur (teknis), yang kemudian melanggengkan kesenjangan digital dan rendahnya kepercayaan publik (sosio-kultural), yang selanjutnya membuat para politisi semakin enggan mengambil tindakan. Ini menunjukkan bahwa masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan mengatasi satu isu secara terpisah. Memutus siklus ini memerlukan strategi jangka panjang dan komprehensif yang menangani keempat domain secara bersamaan.

Tabel 2: Analisis SWOT Implementasi E-Voting Nasional di Indonesia

Bagian 4: Studi Kasus Internasional: Cetak Biru Keberhasilan dan Peringatan

Bagian ini memberikan konteks perbandingan yang krusial, beralih dari tantangan spesifik di Indonesia ke pelajaran yang lebih luas yang dipetik dari pengalaman berbeda negara-negara lain dengan e-voting.

4.1 Estonia: Model Negara Digital Terintegrasi

Keberhasilan Estonia dengan i-voting bukanlah sebuah proyek yang berdiri sendiri, melainkan puncak dari strategi nasional selama puluhan tahun untuk membangun masyarakat digital.34 Sistem ini dibangun di atas dua pilar fundamental:

  • Identitas Digital Universal: Kartu Tanda Penduduk (KTP) nasional yang bersifat wajib dan dilengkapi dengan chip kriptografis adalah landasan dari keseluruhan ekosistem. Kartu ini digunakan untuk otentikasi jarak jauh yang aman dan tanda tangan digital yang sah secara hukum dalam semua aspek kehidupan, mulai dari perbankan hingga layanan kesehatan.36 Infrastruktur yang sudah ada, tepercaya, dan digunakan sehari-hari ini adalah prasyarat yang tidak dapat dinegosiasikan.
  • Ekosistem E-Governance Holistik: I-voting hanyalah salah satu dari banyak layanan dalam platform e-governance komprehensif (X-Road), di mana 99% layanan publik tersedia secara online.38 Hal ini menciptakan tingkat literasi digital dan kepercayaan publik yang tinggi melalui interaksi harian yang positif dengan teknologi pemerintah yang aman.39
    Kepercayaan dibangun secara bertahap selama hampir dua dekade implementasi yang transparan dan berhasil.41 Meskipun demikian, sistem ini terus menghadapi kritik dari para ahli keamanan internasional yang berpendapat bahwa sistem ini secara inheren rentan 36, menyoroti bahwa bahkan sistem terbaik di dunia pun tidak bebas dari risiko.

4.2 Belanda: Kasus Kegagalan Institusional dan Ketergantungan pada Vendor

Belanda menggunakan mesin DRE selama hampir dua dekade sebelum tiba-tiba menghentikannya pada tahun 2007.43 Kegagalan ini berakar pada beberapa faktor:

  • Kurangnya Keahlian Teknis Pemerintah: Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Pemilu tidak memiliki pengetahuan teknis internal untuk menetapkan standar keamanan yang tepat atau untuk mengawasi sistem secara efektif.45
  • Ketergantungan pada Vendor (“Outsourcing Democracy”): Kesenjangan pengetahuan ini menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada vendor swasta. Para vendor ini secara efektif mengendalikan teknologi, memiliki kode sumber yang bersifat tertutup (proprietary), dan bahkan berhasil melobi untuk mengecualikan komponen perangkat lunak kritis dari proses sertifikasi.45 Akibatnya, pemerintah kehilangan kendali atas proses pemilunya sendiri.
  • Penemuan Kerentanan Kritis: Sebuah kelompok masyarakat sipil, “Kami tidak Percaya Komputer Suara,” berhasil menunjukkan kelemahan keamanan yang parah. Ini termasuk kemampuan untuk merusak perangkat keras mesin dalam hitungan menit dan, yang paling fatal, kemampuan untuk mencegat radiasi elektromagnetik (serangan “Tempest”) dari mesin SDU dari jarak lebih dari 30 meter, yang secara langsung melanggar kerahasiaan suara.43
  • Ketiadaan Keterverifikasian: Sistem yang digunakan tidak menghasilkan jejak kertas yang dapat diverifikasi oleh pemilih, sehingga membuat penghitungan ulang atau audit independen yang berarti menjadi tidak mungkin.46 Ini menjadi titik pusat kritik.
    Rentetan pengungkapan ini menyebabkan runtuhnya kepercayaan politik dan publik, yang berujung pada de-sertifikasi semua mesin dan kembalinya Belanda ke surat suara kertas yang ditandai dengan tangan.43

4.3 Jerman: Hambatan Konstitusional Keterverifikasian Publik

Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi Federal Jerman menyatakan penggunaan mesin DRE inkonstitusional.49 Alasan putusan ini bukan didasarkan pada kelemahan teknis tertentu, melainkan pada prinsip fundamental demokrasi yang disebut

“Prinsip Sifat Publik Pemilu” (Principle of the Public Nature of Elections).

Prinsip ini menyatakan bahwa semua langkah esensial dalam sebuah pemilu harus dapat diperiksa dan diverifikasi oleh publik, khususnya oleh warga negara biasa tanpa pengetahuan teknis khusus.49 Mahkamah berpendapat bahwa mesin DRE tipe “kotak hitam”, di mana suara direkam dan dihitung secara tak terlihat di dalam perangkat lunak, secara inheren bersifat buram. Seorang warga negara tidak dapat secara independen memverifikasi bahwa suaranya telah direkam dengan benar dan dihitung secara akurat dalam hasil akhir.50 Cetakan hasil akhir saja tidak cukup;

prosesnya itu sendiri harus dapat diverifikasi. Putusan ini menetapkan standar konstitusional yang sangat tinggi, yang secara efektif menyatakan bahwa sistem apa pun yang tidak memungkinkan verifikasi independen oleh non-ahli (seperti melalui VVPAT) tidak akan memenuhi syarat konstitusional di Jerman.

Ketiga kasus ini mewakili tiga model yang berbeda: Estonia sebagai “Negara Digital” di mana teknologi adalah bagian integral dari hubungan negara-warga; Belanda sebagai “Negara yang Dilemahkan” (Hollowed-Out State) di mana fungsi-fungsi kritis diserahkan kepada pihak luar, yang berujung pada hilangnya kontrol; dan Jerman sebagai “Negara Konstitusional” di mana prinsip-prinsip hukum dan hak-hak warga negara lebih diutamakan daripada kenyamanan teknologi. Prinsip “keterverifikasian publik oleh non-ahli” dari Jerman menyediakan kerangka kerja yang paling kuat dan dapat ditransfer untuk mengevaluasi sistem e-voting di negara demokrasi mana pun, termasuk Indonesia. Prinsip ini secara efektif membuat sistem “kotak hitam” apa pun, termasuk DRE murni dan i-Voting, menjadi tidak sah secara demokratis tanpa mekanisme seperti VVPAT.

Tabel 3: Ringkasan Studi Kasus E-Voting Internasional

Bagian 5: Sintesis dan Jalur Strategis untuk Indonesia

Bagian penutup ini akan mensintesis temuan dari analisis domestik dan studi kasus internasional untuk memberikan rekomendasi strategis yang jelas dan berbasis bukti bagi para pembuat kebijakan di Indonesia.

5.1 Menyelaraskan Optimisme Teknologi dengan Realitas di Lapangan

Pandangan para ahli di Indonesia, seperti Pratama Persadha, yang menyatakan bahwa e-voting “sangat memungkinkan” berdasarkan adanya data kependudukan digital dan pengalaman BPPT dengan Pilkades, perlu diakui.17 Namun, optimisme ini harus ditimbang secara kritis terhadap tantangan struktural yang mendalam sebagaimana dirinci dalam Bagian 3—kesenjangan digital, literasi rendah, ketidakpercayaan publik, dan kegagalan SIREKAP—serta pelajaran mahal dari Belanda dan Jerman. Argumen utamanya adalah bahwa

kemungkinan teknis tidak sama dengan kelayakan atau keinginan demokratis.

5.2 Prasyarat Fundamental yang Harus Dipenuhi

Mengambil pelajaran langsung dari studi kasus, berikut adalah serangkaian prasyarat yang tidak dapat ditawar yang harus dipenuhi Indonesia sebelum sistem e-voting nasional dapat dipertimbangkan secara kredibel:

  • Perombakan Hukum dan Regulasi: Langkah pertama adalah mengamandemen UU No. 7 Tahun 2017 untuk menciptakan dasar hukum yang jelas bagi e-voting. Selanjutnya, KPU harus mengembangkan serangkaian PKPU yang komprehensif yang mencakup standar teknis, protokol keamanan, sertifikasi, dan audit, berdasarkan praktik terbaik internasional.
  • Membangun Identitas Digital Nasional yang Aman: Mengikuti model Estonia, Indonesia harus mengembangkan sistem identitas digital nasional yang universal, aman, dan tepercaya. Ini adalah proyek negara yang masif dan memakan waktu bertahun-tahun, tetapi merupakan prasyarat mutlak untuk otentikasi jarak jauh yang aman.
  • Menjembatani Kesenjangan Digital: Menerapkan strategi nasional jangka panjang untuk mencapai akses internet yang andal dan merata, serta secara drastis meningkatkan literasi digital di semua wilayah dan demografi.
  • Membangun Kapasitas Institusional dan Kepercayaan Publik: KPU harus menunjukkan kompetensi teknisnya dan membangun kembali kepercayaan publik yang hancur akibat SIREKAP. Ini membutuhkan transparansi radikal, kampanye pendidikan publik yang berkelanjutan, dan rekam jejak pelaksanaan sistem digital yang lebih sederhana tanpa cacat selama bertahun-tahun.

5.3 Pendekatan Bertahap, Hibrida, dan Terverifikasi: Peta Jalan yang Direkomendasikan

Laporan ini menentang pendekatan implementasi “big bang” secara nasional dan sebaliknya mengusulkan peta jalan yang hati-hati, inkremental, dan berfokus pada keamanan.

  • Adopsi Model Hibrida dengan VVPAT: Rekomendasi utama laporan ini adalah agar Indonesia hanya mempertimbangkan sistem yang menghasilkan Voter-Verified Paper Audit Trail (VVPAT). Ini adalah satu-satunya cara untuk mendamaikan keinginan akan efisiensi teknologi dengan prinsip demokrasi yang tidak dapat dinegosiasikan tentang keterverifikasian publik, sebagaimana diartikulasikan oleh Mahkamah Konstitusi Jerman. Pendekatan ini memitigasi risiko sistem “kotak hitam” dan menyediakan catatan fisik untuk audit dan penghitungan ulang, yang esensial untuk membangun kepercayaan.
  • Implementasi Bertahap: Mulailah dengan proyek percontohan dalam pemilihan dengan pertaruhan yang lebih rendah atau untuk populasi yang spesifik dan terdefinisi dengan baik. Titik awal yang logis adalah untuk pemilih di luar negeri, yang menghadapi rintangan logistik yang signifikan dengan pemungutan suara melalui pos dan umumnya lebih melek digital. Keberhasilan dalam konteks yang terbatas ini dapat menjadi batu loncatan untuk pertimbangan yang lebih luas.
  • Prioritaskan Verifikasi di Atas Kenyamanan: Pesan terakhir adalah sebuah pilihan strategis. Dalam pertukaran antara kenyamanan (yang ditawarkan oleh i-Voting murni) dan keterverifikasian (yang ditawarkan oleh sistem VVPAT hibrida), sebuah negara demokrasi yang beragam seperti Indonesia harus secara tegas memprioritaskan keterverifikasian untuk menjaga kepercayaan publik dan integritas proses elektoralnya.

Categorized in:

Politik,