Mari sepakat dulu: 2025 bukan kiamat, tapi juga bukan festival lampu. Rasanya seperti kamar kontrakan dengan lampu neon tua—nyala, kedip, desis kecil, lalu nyala lagi. Cukup terang buat lihat tanggal jatuh tempo cicilan; cukup gelap buat salah ambil saus sambal dan tomat. Kita hidup di mode setengah gelap: bukan muram total, cuma remang yang bikin orang sering salah kira. Dan ya, salah kira itu mahal.
Lampu di kepala warga tetap berusaha. Draft kebijakan nongol tengah malam; konferensi pers paginya mengawali dengan kalimat klasik: “Mohon dimaklumi dinamika di lapangan.” Dinamika itu siapa? Di mana alamatnya? Nggak jelas. Di timeline, penjelasan hadir dalam 38 bagian, diselingi “lanjutan di komentar” yang hilang karena algoritma. Kita membaca, manggut setengah, mendesah setengah. Setengah paham—setengah pasrah.

Ekonomi, sementara itu, seperti senter yang baterainya diguncang-guncang dulu baru hidup. Ada momen terang: diskon tanggal kembar, festival UMKM, ongkir Rp0 (syarat & ketentuan berlaku, yang panjangnya seperti skripsi). Habis itu redup pelan: biaya satu naik, tarif lain ikut. Pelaku usaha kecil berubah jadi atlet parkour administratif—lompat dari form ke form, login ke aplikasi A, verifikasi di B, unggah selfie sambil pegang kalender, ulang lagi karena “format berkas tidak sesuai”. Kita tidak bubar jalan; jalannya saja pelan. Senter di tangan kanan, kalkulator di tangan kiri, humor di saku—buat jaga-jaga.
Transparansi juga pakai kaca film 50%. Ada angka, ada grafik, bahkan emoji optimistis. Tapi pertanyaan paling sederhana tetap susah: “Ke saya, efeknya apa?” Di sini remang-remang berfungsi seperti filter—noda halus tidak kelihatan, kontur tampak rapi. Warga akhirnya hemat percaya. Bukan sinis, cuma irit. Trust but verify, kata film spionase; versi kita: “Percaya, tapi minta kuitansi.”
Politik? Bukan saklar on/off. Lebih mirip dimmer. Diputer-puter: kadang terang benderang dengan jargon tiga suku kata, kadang temaram dengan teknis yang bikin ngantuk. Slogan melenggang di panggung seperti fashion show kapsul—ganti baju tiap 30 detik. Penonton bersorak, lalu pulang karena deadline tetap tiba pukul lima. Sesekali muncul tanya jahil: kalau ruangnya remang, siapa yang paling dekat dengan saklar? Kita bukan nuduh—penasaran spesifikasi lampunya aja. LED? Garansi berapa tahun? Hemat energi atau hemat pertanyaan?
Di balik layar, ada pegawai-pegawai yang sungguh-sungguh (ini serius). Mereka ngetik sampai malam, tapi koridor birokrasi panjang sekali—sepanjang niat baik yang keburu capek. Aplikasi ke aplikasi seperti gang sempit yang saling nyambung: “Tinggal upload KTP.” Habis itu minta KK. Lalu NPWP. Lalu foto sambil pegang KTP, KK, NPWP, plus kalender yang menunjukkan bulan berjalan. Kita nurut. Eh—besok diminta ulang karena “server sibuk”. Servernya kerja rangkap, mungkin.
Kota juga ikut setengah gelap. Proyek trotoar datang dan pergi macam tanaman musiman. Hari ini ditutup, besok dibuka separuh, lusa pindah sisi. Google Maps kehabisan kesabaran: recalculating… recalculating… putar balik bila memungkinkan. Kita tertawa, lalu memang putar balik. Yang penting jangan menginjak semen basah—dosa urban paling dibenci netizen, skornya langsung minus.
Di tengah remang, listrik sosial justru mantap: rapat RT yang agak bising, ibu-ibu dengan spreadsheet arisan, bapak-bapak yang jadi satpam dadakan kalau ada kabar maling panci. Dan internet—oh internet—menyediakan genset humor: meme baru tiap jam, punchline yang lebih cepat dari klarifikasi resmi. Tawa tidak menyelesaikan semua, tapi mencegah genteng mental copot satu per satu. Kadang, satu stiker WA lebih efektif daripada satu surat edaran.
Sisi baiknya? (Ada kok, jangan murung dulu.) Setengah gelap bikin mata peka. Di cahaya temaram, kelip kunang-kunang kelihatan: tetangga yang baru buka usaha kue, komunitas yang menanam pohon di bantaran kali, relawan yang mengajar anak tetangga tanpa spanduk. Bukan romantisasi kekurangan—tolong jangan salah paham—lebih ke pengakuan: improvisasi itu keahlian lama bangsa ini. Kita bisa merajut perbaikan kecil sambil menunggu lampu pusat dibenahi. Bukan ideal, tapi menolak gelap total.
Apakah 2025 itu tahun gelap? Jawaban pendek: tidak. Jawaban panjang: belum terang juga. Ibarat bioskop saat film belum mulai; lampu diredupkan, penonton berbisik, ponsel disilent (seharusnya), popcorn tetap dibeli—meski harganya bikin mikir dua kali—karena begitulah ritual. Ada gelisah, ada harap. Mata sebagian penonton melirik ke ruang proyektor. Bukan curiga, cuma memastikan operatornya nggak ketiduran. Film apa yang akan diputar? Drama kebijakan? Komedi birokrasi? Dokumenter jalan rusak versi director’s cut? Kalau boleh sih, genre “keputusan yang jelas dan tepat waktu”—walau box office-nya belum pernah dicoba.
Sementara itu, cicilan jalan terus, anak sekolah tetap butuh sepatu, dan harga cabai—ah, sudahlah. Kita hidup, bekerja, mengeluh secukupnya, tertawa seperlunya. Negara jalan, kadang kepeleset. Warga bantu, kadang ngomel. Hubungan ini seperti listrik prabayar: kalau mau nyala, dua-duanya isi token. Bukan cuma satu pihak.
Jadi, titip pesan untuk penjaga saklar: kasih lihat skema kabelnya. Biar kami bantu tebak mana yang korslet, mana yang cuma longgar. Kalau lampu redup karena penghematan, bilang terang-terangan. Kalau padam karena salah sambung, akui—kita tidak akan melempar batu, paling banter melempar meme. Jujur itu bukan kelemahan; justru cadangan daya saat cuaca politik mendung lagi (dan, realistis, cuaca itu tropis: sering mendung, sering panas, jarang stabil).
Akhirnya, mungkin yang kita butuh bukan sorot stadion 24 jam, melainkan lampu ruang tamu: hangat, jelas, cukup untuk membaca, ngobrol, dan tidur nyenyak. Kalau suatu malam listriknya ngadat, kita punya lilin—gotong royong, sedikit sinis yang sehat, dan kopi sachet rasa hazelnut. Bukan solusi teknis, tapi penolak gelap paling manusiawi yang kita punya. Sambil menunggu tukang listrik datang, setidaknya ruang tamu nggak sepenuhnya gelap. Setengah, ya. Tapi setengah harap juga.