Lebaran selalu jadi momen yang ditunggu-tunggu. Saatnya pulang kampung, makan opor ayam, dan tentu saja—bagi-bagi amplop. Tahun ini, Idul Fitri jatuh pada Senin, 31 Maret 2025. Harusnya ini jadi perayaan besar, tapi kenyataannya? Ekonomi sedang ngos-ngosan, dompet ikut kurus, dan saldo rekening lebih cepat hilang daripada takjil gratis di masjid.

Menurut data, perputaran uang Lebaran 2025 turun jadi Rp137,9 triliun—lebih rendah 12 % dari tahun lalu (IPB University). Artinya, orang belanja lebih sedikit, mudik lebih susah, dan THR lebih cepat habis. Tapi tenang, meski dompet menangis, cerita Lebaran tetap lucu kalau ditertawakan.

Beberapa hari sebelum Lebaran, emak-emak jadi atlet sprint di pasar tradisional. Target mereka: minyak goreng, cabai, bawang merah, dan kue kaleng yang nantinya berubah jadi kotak jahit.

Padahal Badan Pusat Statistik mencatat deflasi di Januari dan Februari 2025 (harga-harga turun tipis), tapi emak-emak kompak bilang harga tetap naik. “Deflasi di TV, inflasi di dapur,” celetuk Bu Yati sambil menawar cabai.

Hasilnya? Sambal di meja Lebaran sering diganti saus sachet. Praktis, hemat, dan nggak bikin stres.

Di sisi lain, bapak-bapak punya masalah sendiri: berburu tiket mudik. Tahun ini jumlah pemudik turun sekitar 24 % dibanding tahun lalu (AP News). Alasannya jelas—harga tiket naik, gaji nggak ikut naik.

Bapak-bapak jadi sering menghela napas panjang di loket. Ada yang akhirnya bilang: “Ya sudah, mudiknya via Zoom aja.” Maka malam Lebaran pun dipenuhi video call dengan latar belakang seadanya: keluarga di kampung makan opor, bapak di perantauan makan mi instan sambil senyum paksa.

THR memang wajib hukumnya dibayar perusahaan, tapi sifatnya sementara—kayak mantan yang cuma datang pas butuh. Begitu cair, langsung lenyap: separuh buat cicilan motor, seperempat buat listrik, sisanya buat baju baru.

Maka lahirlah istilah THR = Tunjangan Habis Rata. Survei iseng di kantor bahkan bilang, karyawan rata-rata bokek lagi hanya tiga hari setelah THR cair. Jadi kalau ada yang pamer baju baru di Instagram, jangan minder—ingat, cicilannya mungkin lebih panjang dari captionnya.

Anak-anak tetap ceria karena amplop Lebaran. Wajah mereka berseri-seri, seolah sudah tahu bahwa Rp20 ribu di tangan itu lebih berharga dari 20 motivasi di TikTok.

Tapi bagi orang dewasa, amplop ini jadi semacam “biaya masuk silaturahmi.” Kalau bawa Rp20 ribu, bisa duduk di ruang tamu. Kalau Rp50 ribu, bisa makan opor. Kalau Rp100 ribu, mungkin bisa pulang bawa kue sisa.

Masalahnya, jumlah keponakan selalu lebih banyak daripada jumlah nol di saldo rekening. Ada yang sampai nyeletuk: “Ini Lebaran apa program bansos?”

Kota besar punya drama tersendiri. Mall jadi tempat “ibadah konsumsi”—diskon besar-besaran bikin orang antre panjang, bahkan parkiran mall lebih lama daripada antre zakat fitrah.

Yang malas ke mall lari ke e-commerce. Tapi drama tetap ada. Paket baju koko yang dipesan seminggu sebelum Lebaran sering baru datang setelah Lebaran lewat. Alhasil, baju baru dipakai buat kondangan, bukan shalat Ied.

Lalu ada abang ojol—pahlawan logistik urban. Mereka yang mengantarkan ketupat, parcel, bahkan bawang merah dadakan. Sayangnya, malam takbiran mereka terjebak macet di jalan. Banyak yang akhirnya “ikut shalat Ied di jalan tol” karena nggak bisa keluar dari antrean kendaraan.

Tradisi tarik tunai menjelang Lebaran masih ada. Antre di ATM panjang, tapi saldo di rekening pendek. Banyak yang gagal tarik karena saldo cuma Rp47 ribu.

Yang lebih “kekinian” pakai QRIS. Masalahnya, kalau sinyal jelek, transaksi gagal. Jadilah momen awkward: keponakan sudah senyum, HP masih loading. Uang lebaran akhirnya berubah jadi “uang pending.”

Saya sendiri? Lebaran 2025 ini lebih mirip ujian sabar. THR masuk rekening hari Jumat, Sabtu sudah habis. Uang lebaran untuk keponakan pun menurun. Tahun lalu Rp50 ribu, tahun ini Rp20 ribu, tapi saya akali dengan amplop warna emas biar terlihat “prestise.”

Dan tetap saja, suasana Lebaran terasa hangat. Karena ternyata, yang bikin Lebaran indah bukan seberapa tebal amplop atau mewahnya menu di meja, tapi tawa keluarga yang sama-sama sadar: kita semua lagi bokek, tapi tetap bisa ketawa bareng.

Akhirnya, Idul Fitri bukan soal isi dompet, tapi soal keberanian menertawakan keadaan. Karena kalau nggak ditertawakan, kita bisa-bisa malah nangis beneran.

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum. Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin …

Categorized in:

Inspirasi,