Sekolah itu harusnya jadi tempat anak-anak ketawa, belajar, dan makan enak di jam istirahat. Tapi sekarang? Di beberapa daerah, sekolah berubah jadi ruang tunggu IGD. Alasannya? Menu MBG (Makan Bergizi Gratis) yang katanya penuh nutrisi, malah penuh risiko. Dari Jawa Barat sampai Jawa Timur, anak-anak bukan cuma belajar matematika, tapi juga belajar cara tahan muntah setelah sarapan gratis.
Ini bukan satu dua kasus. Di Bandung Barat, 1.333 siswa keracunan (detik.com). Nasional? Sudah tembus 6.452 siswa menurut JPPI (cnnindonesia.com). Ini belum termasuk yang muntah tapi malu ngaku karena takut dikira lemah. Bayangin, anggaran negara triliunan digelontorkan, tapi yang masuk ke perut malah bikin anak-anak tekuk badan sambil bilang, “Bu, aku mual lagi.”
Yang bikin heran, pejabatnya kok kalem banget ya. Nggak ada yang panik, nggak ada yang malu. Ada yang bilang, “Kita hentikan sementara.” Loh, ini bukan uji coba produk skincare. Ini makanan anak-anak, cuy. Sekali salah, bisa fatal. Tapi seolah-olah, ini cuma salah kirim paket dari kurir.
Belum lagi soal siapa yang ngawasin dapur. Banyak dapur penyedia menu MBG itu belum siap — nggak semua punya SOP higienis, nggak semua tahu cara ngolah makanan massal yang aman. Tapi tetap dikasih tanggung jawab karena, ya… tendernya lolos. Mungkin dapurnya lolos, tapi isi perut anak-anak nggak.
Yang lebih lucu (atau sedih?) adalah kepala badan yang ngurus gizi nasional ternyata bukan ahli pangan, tapi ahli serangga (facebook.com). Mungkin maksudnya supaya kalau makanannya basi, bisa sekalian dipelajari serangganya? Entahlah. Negara ini kadang suka ngasih kejutan.
Dan kalau kamu pikir, “yaudahlah, ini kan awal-awal, wajar ada salah,” coba deh mikir ulang. Salah satu korban keracunan MBG itu anak SD. Umur 9 tahun. Dia bukan kelinci percobaan. Dia cuma pengen makan gratis, bukan uji nyali isi lambung.
Tapi ya beginilah. Di atas kertas, program MBG itu keren banget. “Investasi generasi emas,” katanya. Tapi kalau hasilnya bikin anak-anak trauma makan, itu bukan emas — itu logam berat.
Solusinya gampang, asal mau denger:
- Stop dulu sementara program MBG di daerah bermasalah. Jangan maksa jalan kalau sistemnya belum siap.
- Audit total semua dapur penyedia. Yang nggak layak, coret. Yang asal-asalan, lapor polisi sekalian.
- Transparansi. Publikasikan kontrak, vendor, kualitas makanan. Biar rakyat bisa bantu ngawasin.
- Ganti pejabat yang nggak ngerti pangan. Mau loyal ke atasan? Boleh. Tapi jangan korbankan perut anak-anak.
- Libatkan guru dan orang tua. Mereka yang paling tahu apa yang aman buat anak-anak mereka.
- Dan yang penting: evaluasi kinerja BGN secara menyeluruh. Saat ribuan anak sudah keracunan, lalu kepala BGN tetap aman di kursinya, itu bukan tanda negara kuat — itu tanda negara nggak peduli.
Kalau ini terus didiemin, lama-lama anak-anak bakal trauma sama kata “gratis.” Padahal harusnya itu jadi hak mereka, bukan kutukan. Kasihan mereka. Sudah belajar daring, kebagian sekolah roboh, sekarang dikasih makan yang bisa bikin muntah berjamaah.
Program makan gratis itu penting. Tapi jauh lebih penting memastikan bahwa setiap sendok yang masuk ke mulut anak-anak bukan hasil dari tender asal-asalan atau eksperimen birokrasi yang sok inovatif. Kalau negara tidak bisa menjamin makanan aman, maka jangan heran jika generasi emas berubah jadi generasi muntah massal.
Gratis itu bukan berarti bebas tanggung jawab—justru di situlah tanggung jawabnya harus paling besar.
